Gabung Yuk,
PSK |
Tidak banyak yang
diketahui orang tentang Kecamatan Bongas, Indramayu selain sebagai kampung
halaman seorang penyanyi dangdut ternama. Seperti di daerah lain, di pesisir
pantai utara Jawa, mayoritas warga Bongas bekerja sebagai buruh tani.
Sehari-hari, daerah ini
tidak beda dengan kampung pada umumnya. Namun di musim-musim mudik seperti
sekarang ini, kehadiran 'bule-bule lokal' memberikan warna berbeda dalam
kehidupan warga Bongas. Mereka adalah para pekerja seks yang sedang pulang
kampung.
"Kalau ingin
melihat suasana yang beda dari Bongas, itu pas lebaran, pas hari-H atau puasa
minggu pertama. Nah itu kan pada pulang kampung, di situ banyak 'bule-bule
lokal'," kata Wisnu, relawan Yayasan Kusuma Buana yang memiliki komunitas
dampingan di desa Bongas Pentil.
"Rambutnya
warna-warni, dengan dandanan yang modis menurut versi mereka walaupun kadang
pas kadang ada yang nggak pas," lanjut Wisnu.
Bongas, dan juga
beberapa daerah lain di Jawa Barat dikenal sebagai dearah-daerah yang rawan
trafficking. Selain banyak yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja
Indonesia (TKI), perempuan-perempuan muda di daerah ini banyak dikirim sebagai
pekerja seks di kota-kota besar seperti Jakarta.
Faktor budaya yang sudah
turun temurun turut melanggengkan kerentanan tersebut. Menjadi pekerja seks,
bagi sebagian warga Bongas dianggap sebagai wujud bakti terhadap orang tua
karena bisa mengubah ekonomi keluarga agar tidak selamanya menjadi buruh tani.
"Di sini, ada
faktor 'keterlibatan' masyarakat juga lewat pembiaran-pembiaran. Keterlibatan
dalam tanda petik. Dengan tidak melaporkan bila ada kasus. Secara tidak
langsung itu membuat begitu maraknya para perempuan menjadi korban perdagangan
manusia," kata Wisnu.
Minimnya sarana
pendidikan juga menjadi faktor pendorong bagi para perempuan muda untuk
merantau. Riset Yayasan Kusuma Buana di tahun 2003 menunjukkan hanya ada 1 SMP
di 1 kecamatan untuk menampung lulusan 32 Sekolah Dasar maupun Madrasah Ibtidaiyah
di daerah tersebut.
Perputaran Uang yang
Menggiurkan
Selain ada banyak faktor
pendorong dari kampung halaman, banyak perempuan muda menjadi korban
perdagangan manusia karena begitu kuatnya faktor penarik dari kota-kota besar
seperti Jakarta. Gaya hidup glamor yang ditampilkan 'bule-bule lokal' yang
sedang mudik, sedikit banyak membuat generasi muda tertarik untuk mengikuti
jejak seniornya.
Nono, warga Bongas yang
pernah menjadi penyalur perempuan-perempuan muda Bongas untuk dipekerjakan di
berbagai wilayah di Indonesia mengakui adanya daya tarik dari kota. Menurutnya,
perputaran uang di kalangan pekerja seks dan orang-orang di lingkarannya memang
menggiurkan.
"Pertama kali
datang itu dapat Rp 2 juta, istilahnya uang bedak. Nanti kalau sudah lancar
anaknya bekerja, bisa dapat pinjaman Rp 40 sampai 50 juta. Bayarnya ya nanti
setelah anaknya kerja, tiap bulan dipotong," kata Nono yang kini menjadi
relawan untuk Yayasan Kusuma Bongas, sebuah komunitas dampingan dari Yayasan
Kusuma Buana.
Sebagai calo atau
penyalur, Nono pun kala itu mendapat bayaran yang lumayan. Tiap anak yang
dibawanya dari kampung, oleh mami di tempat anak-anak tersebut bekerja akan
dihargai minimal Rp 500 ribu. Itu belum termasuk semacam royalti, yang
dibayarkan kepadanya setiap bulan berdasarkan jam kerja si anak selama ikut
mami.
Mantan pekerja seks
Endang Suryanti membenarkan besarnya perputaran uang di kalangan pekerja seks.
Terlepas dari fasilitas uang pinjaman yang ditawarkan para mami, penghasilan
para pekerja seks itu sendiri sudah bisa melebihi gaji pegawai kantoran.
"Yang freelance
saja (tidak ikut mami), dan masih muda ya, semalam dapat lho kalau cuma Rp 1
atau 2 juta. Tapi itu yang masih muda, kalau yang udah tua tau sendiri tarifnya
saja cuma Rp 50 ribu sekali main," kata Endang yang kini memimpin Yayasan
Bandungwangi untuk mendampingi para pekerja seks di Jakarta Timur.
Faktor penghasilan itu
jugalah yang membuat Endang kesulitan untuk merangkul para pekerja seks,
khususnya yang menjadi korban trafficking dan masih di bawah umur untuk lepas
dari dunia prostitusi. Bagi sebagian dari mereka, tidak ada yang lebih mudah
untuk mengumpulkan uang sebanyak itu selain dengan menjual diri.
Menelisik Geliat PSK ABG
di Jakarta, Ketika Mereka Terjerat para 'Mami'
Saat razia tempat-tempat
hiburan sedang marak-maraknya di bulan puasa, kebanyakan pekerja seks memang
pulang kampung untuk libur sementara. Namun di berbagai sudut kota Jakarta,
geliat kupu-kupu malam tetap semarak seperti biasanya.
Nancy, sebut saja
demikian, adalah salah satu di antaranya. Setiap malam, remaja 19 tahun asal
Medan, Sumatera Utara ini tetap membantu 'maminya' berjualan minuman di kawasan
Prumpung, Jakarta Timur. Jika ada tamu yang menghendaki, Nancy pun menyediakan
diri untuk dibawa ke losmen terdekat.
Masih di kawasan Jakarta
Timur, Wati dari Purwakarta lebih terbuka saat mangkal di seberang Lembaga
Pemasyarakatan Cipinang. Tanpa kedok berjualan minuman seperti yang dilakukan
Nancy dan belasan remaja lain, perempuan 20 tahun ini terang-terangan
menjajakan diri di pinggir jalan.
Sementara itu di ujung
utara Kota Jakarta, kawasan Kolong Jembatan alias di Kojem di Kampung Baru,
Cilincing menjadi salah satu pusat hiburan malam kelas menengah ke bawah yang
tetap semarak di bulan puasa. Di tempat ini, gadis-gadis belasan tahun pun
banyak dipekerjakan untuk menemani para tamu.
Kekhawatiran akan adanya
razia tentu saja ada. Remaja asal Indramayu, Jawa Barat, Dewi (17) mengisahkan
2 rekan yang bekerja di kafe yang sama dengan dirinya terjaring razia pada
malam sebelumnya. Bosnya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk menebusnya.
"Biasanya sih dari
atas ada yang ngasih tahu kalau ada razia, jadi kita ngumpet dulu. Nggak tahu,
kemarin itu untungnya saya sempat lari," kata Dewi yang belum setahun
bekerja di kawasan Kojem kepada detikcom akhir pekan lalu.
Agak berbeda dengan
rekan-rekan seprofesinya di pinggiran Jakarta, Tania (17) asal Pemalang Jawa
Tengah yang menjadi pekerja seks di sebuah hotel di Mangga Besar Jakarta Pusat
mengaku lebih tenang. Mami atau bosnya mengatakan urusan keamanan sudah dikoordinasikan
sehingga keselamatannya lebih terjamin.
Nancy, Wati, Dewi maupun
Tania sama-sama masih belia dan harus menjalankan pekerjaan berisiko tinggi.
Tentunya bukan tanpa alasan jika para remaja ini nekat menjalankan pekerjaan
tersebut dengan segala risikonya mulai dari razia, kekerasan seksual dari tamu
dan infeksi berbagai penyakit.
Nancy mengaku punya
utang Rp 5 juta ke maminya untuk beli ganja beberapa bulan lalu dan kini harus
menebusnya dengan tetap bekerja meski di bulan puasa. Wati bukan pecandu, namun
ia juga pernah mengambil 'cashbon' alias utang ke maminya saat harus mengirim
uang ke kampung karena 2 orang adiknya butuh membayar uang sekolah.
Tak seperti Nancy, Dewi
tidak memiliki utang ke bosnya yang sekarang karena baru sebulan pindah dari kafe
lain, namun ia juga butuh ongkos untuk mudik ke Indramayu dan setoran bulanan
untuk orang tuanya di kampung. Sementara Tania, justru tetap melayani panggilan
lelaki hidung belang agar tidak harus ambil THR (Tunjangan Hari Raya).
"Kayak saya ini
sebenarnya dapat THR, lumayan sih bisa buat bagusin rumah di kampung. Tapi ya
itu, sebenarnya dihitung cashbon juga sih. Daripada nanti pulang dari kampung
musti kerja keras buat ngelunasinya, mendingan tetap kerja dari sekarang,"
kata Tania.
Fasilitas THR memang
diberikan oleh beberapa mami alias mucikari untuk para primadona, yakni pekerja
seks 'berprestasi' yang dinilai mendatangkan banyak pelanggan. Besarnya THR ini
bervariasi, mulai dari Rp 5 juta hingga pada level tertentu nilainya bisa
mencapai Rp 60 juta.
"Sekarang banyak
bos-bos tempat hiburan yang memberikan THR bagi primadonanya. Jadi pekerja seks
yang mendatangkan banyak pelanggan, ketika mau pulang kampung mereka dikasih
THR," kata Wisnu, staf program di Yayasan Kusuma Buana yang mendampingi
para pekerja seks di berbagai wilayah di Jakarta.
Jerat Hutang dan
Perubahan Gaya Hidup
Meski beda kelas, Tania
yang high-class dan rekan-rekannya di pinggiran Jakarta sebenarnya tengah
dihadapkan pada masalah yang sama. Mereka terpaksa ambil risiko kerja malam di
bulan puasa karena kebutuhan hidup yang tidak bisa ditunda. Utang adalah salah
satu di antaranya, yang oleh Riza Wahyuni, SPsi, MSi dari Pusat Pelayanan
Terpadu (PPT) Jawa Timur, dianggap sebagai perangkap.
Riza yang juga merupakan
fasilitator IOM (International Organization for Migration) mengatakan, pekerja
seks yang menjadi korban trafficking terkadang sulit melepaskan diri jika sudah
terjerat utang. Bahkan sejak pertama kali datang, mereka sudah dibebani hutang
yang akan terus bertambah.
Di daerah tertentu
seperti Indramayu Jawa Barat, kerap ditemukan orang tua menjual anak
perempuannya kepada agen atau calo. Awalnya, orang tua pinjam uang ke seseorang
untuk memperbaiki rumah atau menyekolahkan anak, lalu setelah besar anak
tersebut dipekerjakan sebagai pekerja seks di tempat orang tersebut untuk
melunasi utang.
"Sebenarnya ada
yang pintar. Misalnya dikatakan utangnya lunas kalau sudah melayani 100 tamu,
nah dia selalu mencatat. Tetapi ketika sudah dapat 100, ternyata tidak bisa
langsung berhenti. 'Kamu tidur di sini, makan saya yang bayari, berarti masih
punya hutang lagi'," kata Riza.
Seorang relawan
pendampingan pekerja seks di kawasan Jatinegara dan Matraman, Endang Suryanti
membenarkan bahwa pekerja seks korban trafficking khususnya yang masih di bawah
umur umumnya tidak punya banyak pilihan selain menurut pada bosnya. Apalagi,
bos alias mami atau mucikari kerap memberikan fasilitas-fasilitas.
Fasilitas utang atau
pinjaman merupakan salah satu kemudahan yang diberikan oleh para mami pada
pekerja seks yang dinilai bisa dipercaya. THR seperti yang diperoleh Tania juga
termasuk pinjaman, yang pada saatnya tetap harus dibayar dari hasil kerjanya
sendiri.
"Kadang orang tua
di kampung tidak mau tahu, tiap bulan minta dikirim sekian juta. Kalau nggak
dapat, ya ambil cashbon. Maminya juga seneng, wong jadinya si anak jadi tambah
lama di situ. Bukan ratusan lagi kalau utang, jutaan," kata Endang, mantan
pekerja seks yang dilacurkan di usia 12 tahun dan kini menjadi Direktur Yayasan
Bandungwangi.
Tentunya tidak semua
pekerja seks tetap beroperasi di bulan puasa dengan alasan terjerat utang.
Wisnu justru mengkhawatirkan para pekerja seks, khususnya yang menjadi korban
trafficking, susah berhenti karena faktor lain yakni ketika mereka terlanjur
merasa 'enjoy'.
"Yang paling berat
adalah ketika mereka sudah 'enjoy'. Karena jika sudah menemukan dunia itu
(prostitusi) dengan segala kemewahan dan kemudahan mendapatkan uang, ya
susah," kata Wisnu, yang juga memiliki komunitas dampingan di Indramayu.
0 komentar:
Posting Komentar